MEMAHAMI KONSEP SUFISME
KRITIK ATAS PEMIKIRAN REYNOLD A. NICHOLSON
Pendahuluan
Memaknai
tasawuf secara mendalam hingga menemukan esensi/inti-subtansial darinya memang
sangat sulit untuk dilakukan oleh banyak orang. Kenyataan ini tidak bisa
dipungkiri oleh semua kalangan, kesulitan dalam cara memahami tasawuf dengan
cermat menjadi problematika mendasar bagi para penganutnya. Selintas kaum
Muslimin meyakini bahwa tasawuf adalah jalan murni menuju Tuhan. Namun di sini
para pengkaji menemukan berbagai kesulitan dalam menelaah lintas pengamalan dan
pengalaman beragama dalam Islam. Ini terbukti dengan banyaknya pembahasan yang
dikaji dalam tasawuf, yang tidak membahas objek inderawi secara langsung.
Kami menemukan suatu soal bahwa
tasawuf bertumpu pada hati, yang oleh banyak ulama diposisikan sebagai rasa.
Maka jelaslah bagi kalangan orientalis menyebut tasawuf sebagai bagian
dari agama Islam yang terdiri dari unsur-unsur mistis. Karena pembahasan di
dalamnya dianggap tidak memiliki keterikatan dengan alam material, melainkan
hanya sebuah usaha untuk menyatukan diri dengan Tuhan.
Secara khusus artikel ini membahas
tentang pokok-pokok pemikiran tasawuf seorang orientalis Reynold A. Nicholson
yang disampaikan melalui bukunya yang berjudul The Mystics of Islam.
Dalam pengantar bukunya, dia menjelaskan bahwa pengikut mistik Muhammad suka
menyebut diri mereka ahl al-Haq (pengikut kebenaran).[1]Dia
dalam buku itu, dia menjelaskan bahwa tasawuf yang dianut oleh para sufi adalah
ajaran mistik. Pada secara substansial, istilah mistik tidak dapat disinonimkan
dengan tasawuf, begitupula secara prinsipil istilah mistik sangat tidak tepat
dipakai untuk tasawuf.
The Mystics of
Islam dalam
Pandangan Reynold A.Nicholson[2]
Dalam pengantar
bukunya, Nicholson menjelaskan bahwa sufisme adalah filsafat agama Islam.
Mereka adalah para sufi yang suka menyebut dirinya sebagai ahl al-Haq,
yaitu orang-orang yang mengikuti ajaran mistik Muhammad. Pada dasarnya tidak ada
perbedaan yang mencolok antara kaum sufi dan kaum fundamentalism, kecuali bahwa
kaum sufi berpegang teguh kepada al-Quran yang dipahami melalui kehidupan
beragama.
Kata mistik sendiri berasal dari
agama Yunani kuno yang diadopsi ke dalam literatur Eropa. Dalam Islam,
mistisisme adalah sufisme. Namun, sufisme di sini memiliki pengertian khusus
yaitu bagi pengikut mistik Muhammad. Dalam bahasa Arab, kata sufi identik
dengan istilah kesucian sehingga mereka yang disebut sufi adalah orang-orang
yang memiliki hati yang bersih/suci.
Menurut Noldeke, kata sophos dalam
bahasa Yunani berasal dari kata suf (wool), untuk selanjutnya istilah
sufi diperuntukkan kepada orang Islam yang melakukan pertapaan suci dengan
menggunakan kain wol kasarsebagai tanda penyesalan dan penyerahan duniawi.
Awalnya para sufi adalah seorang
pertapa dan penyendiri, daripada seorang mistikus. Kesadaran akan dosa kemudian
dikombinasikan dengan rasa takut dan harapan, hal ini merupakan bentuk tasawuf
tertua. Dalam abad ke-8 M tasawuf bertumpu pada perasaan takut, namun kemudian
dipraktekkan oleh mistikus perempuan Robi‘ah al-Adawiyah menjadi perasaan
pasrah sepenuhnya.
Dalam abad ke-3 H, paham sufisme
berkembang secara tidak normal, mereka berusaha menundukkan tubuhnya dan hidup
miskin. Dalam abad ini, mereka yakin bahwa tindakan bertapa dan menyendiri dari
keramaian hanyalah jalan pertama dan masih banyak lagi yang harus dilalui sufi
sempurna. Kata kunci untuk mempelajari sufisme ialah cahaya, pengetahuan dan
cinta, dalam bentuk keTuhanannya sebagai pantheism.
Adapun yang paling berpengaruh atas
perkembangan sufisme Islam ialah Kristen, neo-Platonism, Gnosticsm, dan Budhisme.
Dalam prakteknya, penganut sufisme hampir menyerupai praktek-praktek mistik
dari keempat paham ini. Memahami hakikat cinta, misalnya, seringkali ditemukan
kemiripan dalam tradisi Kristen.
Mistisisme merupakan sebuah tanda
kemajuan spritual yang dialami oleh penganutnya. Yaitu konsep suluk bagi
salik melalui berbagai tahapan/tingkatan yang harus dilalui oleh para
pencari Tuhan. Dalam kitab al-Luma’, tahapan-tahapan itu ialah taubat, pantang,
penolakan, kemiskinan, kesabaran, kepercayaan dan kepuasan. Ketujuh tahapan ini
harus intens dijalankan olah para salik agar menemukan prinsip kemurnian
akan realitas ultim. Tahap demi tahap harus dilalui untuk memperoleh
maqam yang lebih tinggi, mereka tetap berdiri dalam satu tahap jika hal itu
belum sepenuhnya dilakukan. Dengan begini seorang penganut sufisme mempunyai
tingkat disiplin yang sangat tinggi. Semua tahap harus dilakukan hingga mereka
sampai kepada maqam makrifat dan hakikat.
Dalam perjalan spritual, seorang
pemula harus tunduk dan patuh kepada seorang syaikh atau mursyid. Para mursyid
bertugas untuk mengarahkan murid-muridnya untuk dapat berhasil dari satu tahap
ke tahap selanjutnya. Sehingga tahap-tahap yang telah dilalui memberikan suatu
penyegaran batin dan menambah tingkat kesadaran yang mendalam bahwa semua yang
dilakukan oleh manusia adalah rahmat Allah. Taubat misalnya, tampak dalam benak
manusia bahwa ia merupakan aktifitas ruhani yang disebabkan oleh kesadaran akan
dosa menuju jalan kebaikan tanpa mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya.
Tetapi lain daripada itu, dalam kesadaran mendalam seorang salik akan
menyadari bahwa taubat itu semata-mata merupakan rahmat Ilahi.
Bagi mereka yang telah mencapai maqam makrifat dan hakikat dapat
merasakan kepenuhan cinta kepada Allah, mata mereka telah buta kecuali
pandangan mereka adalah pandangan Tuhan. Hati mereka telah dipenuhi dengan
cahaya Ilahi, sehingga mereka tak lagi membutuhkan dunia, mereka hanya
mengambil secukupnya sebagai perantara menuju Tuhan. Inilah konsep kemiskinan
yang dianut oleh para sufi, kebanyakan dari mereka bukan orang-orang miskin
dalam arti materi, tetapi hati mereka telah kosong dari kecintaan akan materi
duniawi.
Hingga sampai dalam maqam tertinggi,
para penganut sufisme menemukan ekstase dirinya. Melakukan persatuan dengan
Tuhan, menjadi fana’ akan segalanya kecuali Tuhan yang wujud, bahkan diri
mereka sendiri pada hakikatnya adalah ketiadaan. Penghayatan mendalam akan
kehadiran Tuhan membuat para penganut sufisme ini menyangkal dirinya sendiri.
Dirinya adalah pengertian dari Tuhan, dirinya telah hilang entah kemana, hanya
Tuhan semata yang ada di dalam diri dan hatinya.
Mistisme dan
Sufisme
Peneliti
orientalis kerapkali menggunakan kacamata Barat terhadap penelitian yang mereka
lakukan terhadap budaya ke-Timur-an, meskipun sebagian dari mereka bersikap
jujur dan objektif. Termasuk di dalamnya adalah Reynold A. Nicholson, seorang
orietalis Inggris. Di dalam wikipedia berbahasa Inggris, dijelaskan bahwa
Nicholson adalah seorang pengkaji tokoh-tokoh sufi seperti Rumi, Hujwiri, Ibn
Arabi dll, juga meneliti kitab-kitab sufi kuno seperti Masnawi, Sufism Kashf
al-Mahjub dll.[3]
Seperti tercatat di dalam bukunya The
Mystics of Islam dia berusaha untuk menerangkan keagungan sufisme dan
tokohnya dengan menggunakan term mistisisme. Konklusi kajian yang
dilakukannya dalam wilayah tasawuf ialah, bahwa tasawuf merupakan konsep yang
ada di dalam semua agama dalam rangka menyempurnakan kehidupan spiritual antara
makhluk dan Tuhan. Pengertian yang simple ini menjelaskan bahwa tujuan
mutlak dari tasawuf ialah Tuhan. Dengan demikian, bersandar kepada tujuan
tertinggi dari tasawuf lantas Nicholson menyebutnya sebagai paham Muhammaden
mystics (sufisme).[4]
Term mistik oleh Nicholson kepada ajaran
keruhanian Islam (tasawuf) setidaknya bisa diterima oleh umat Islam sendiri
sebagai sebuah ajaran keruhanian yang berusaha mengintenskan keharmonian
komukasi antara manusia dan Tuhan. Ungkapan ini agaknya serupa dengan
penyampaian Tan Malaka terhadap ajaran dan pemikiran al-Ghazali, yang
disebutnya sebagai sang mistikus besar.[5]
Al-Ghazali sendiri lazim dikenal di kalangan umat Islam dengan hujjat
al-Islam.
Akan tetapi terlepas dari kedua
tokoh ini, Nicholson seorang orientalis dan Tan Malaka seorang Materialis,
penulis mengatakan pula bahwa apa yang mereka sampaikan ialah tidak benar-benar
tuntas dalam membahas tasawuf. Akhirnya dengan kombinasi antara pengetahuan dan
bahan bacaan yang ada, penulis menarik konklusi bahwa term mistik yang diajukan
kepada tasawuf ialah analisa yang tidak adil. Alasannya sederhana, menukil pendapat
Julia Day Howell dan Martin van
Bruinessen dalam makalahnya Sufisme dan “Modern” dalam Islam,term mistik
boleh saja diikatkan terhadap tasawuf/sufisme sejauh ajaran yang terkandung di
dalamnya hanya persoalan komunikasi antara manusia dan Tuhan semata.[6]
Analisa terhadap tasawuf yang
dilakukan oleh Julia dan Martin tampak lebih detaildibandingkan gagasan
Nicholson dan Tan Malaka, bahwa dalam pengertian yang lebih luas
tasawuf/sufisme meliputi beragam aspek kehidupan manusia, misalnya seni,
sastra, pengetahuan ilmiah, institusi sosial dll.[7]
Meskipun pada dasarnya keberagaman unsur-unsur keduniaan itu adalah sarana
untuk mencapai puncak kesadaran akan kehadiran Ilahi. Di sini ada semacam
justifikasi bahwa tasawuf dalam pengertian yang lebih luas tidak semata-mata
mempersoalkan kehadiran Tuhan, tetapi juga sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan keduniawian.
Secara etimologi, kata mistik
berasal dari bahasa Yunani mystikos/myein yang berarti menutup mata,
rahasia atau tersembunyi.[8]
Sedangkan arti mistik secara definitif adalah sistem/paham yang menghendaki
pemenuhan hasrat manusia untuk mengalami persatuan dengan Tuhan (tasawuf,
suluk).[9]
Sementara itu pengertian mistisisme adalah ajaran yang menyatakan bahwa
terdapat hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.[10]
Secara
konseptual, mistisisme dan mistik memiliki objek transenden, yang jauh dari
manusia, yang senantiasa didekati dengan praktek-praktek spiritual atau ritual
suci tertentu yang akan mengantar penganutnya kepada kesatuan jiwa manusia dan
Tuhan.Bentuk-bentuk aktifitas mistis ini biasanya merupakan sebuah doktrin
sentral yang ada dalam suatu agama. Sehingga bagi seluruh pemeluk agama
dituntut untuk menjalaninya agar dapat hidup sempurna. Dalam rangka menjalankan
doktrin ini, pemeluk agama menjalani aktifitas mistik, sehingga acapkali
seseorang akan mengalami ketidaksadaran diri, mengalami keadaan ekstase
yaitu keadaan spritual yang merasakan nikmatnya mengalami persatuan dengan
Tuhan.[11]
Definisi
mistik oleh KBBI sendiri mengalami kejanggalan tersendiri dengan mensinonimkan
kata tasawuf dengan mistik. Sebagai sebuah subsistem agama, pengertian mistik
mengalami stagnasi yaitu mistik sebagai paham kesatuan manusia dan Tuhan.
Begitupula ketika kata mistik dipakai pada tasawuf, akan menghasilkan
pengertian yang sama bahwa tasawuf adalah ajaran/paham dalam agama Islam yang
berorientasi kepada ekstase. Terlihat jelas KBBI memproduksi diorientasi
makna karena dilepaskan dengan konteksnya. Seperti sudah dijelaskan oleh Julia
dan Martin bahwa tasawuf bisa disebut mistik kalau orientasinya terkhusus
kepada kesadaran akan kehadiran Ilahi, tapi lebih luas lagi dalam tubuh tasawuf
itu sendiri mengandung beragam soal dari keseluruhan.
Di Indonesia, Kejawen merupakan salah satu aliran
mistik yang berada di pulau Jawa. Kejawen adalah aliran kebatinan yang
merupakan hasil singkretis antara kepercaya pribumi, Hindu-Budha dan Islam.
Ketiganya saling berinteraksi sehingga menghasilkan agama Islam Jawa (Kejawen).[12]Sedangkan
Ridin Sofwan menjelaskan bahwa sebutan Kejawen bersumber dari kebudayaan
spritual Jawa asli. [13]Misalnya
tertulis dalam serat Mas Kumambang:
“Iya iku rupane kang aran tokit pasti tan roroa kahanan ingkang
aurip kang urip Allah Kewala. Ingkang awan pan sampun kidang mangsuli pajal
awuliyan ginutuk lor kidul keni anebut sinebut dawak. Dewekira ingkang amuji
pinuji yen sira kang tunggal kawibuhan mahasukci kang tunggal langgeng
agesang.”[14]
Artinya: demikianlah nampaknya apa yang dinamakan tokid (usaha
supaya bersatu dengan Tuhan, identifikasi), sudah pasti bahwa dalam Ada
segala sesuatu yang hidup tak ada perpecahan (keduaan), yang hidup hanya Allah
saja. Barang siapa yang mempunyai wawasan yang tepat...(?) ia kembali ke tempat
asalnya, ia memukul sesuatu di sebelah utara dan mengenai sesuatu di selatan,
ia menyerukan dan ia sendiri diserukan. Tak ada kehidupan kecuali Dia Yang
Hidup, yang dipuji dan dimuliakan dan yang (sekaligus) mematuhi diriNya
sendiri.”
Dalam serat ini, ada justifikasi monismesebagai
paham yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu. Berbeda dengan pantheisme
yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah sama. Secara konseptual, kedua
paham ini nampaknya memiliki pengertian yang sama, tetapi dua paham ini
memiliki wilayah kerjanya sendiri-sendiri. Secara sederhana, paham monisme mengajarkan
bahwa Tuhan melebur ke dalam alam dan paham pantheisme mengajarkan bahwa
alam melebur ke dalam Tuhan.[15]
Jalan mistik yang dipilih oleh
seseorang ialah muncul sebagai sebuah kesadaran akan asal muasal kehadirannya
di dunia. Kesadaran ini menggugah kepercayaan akan adanya Tuhan YME yang
senantiasa perlu di dekati setiap saat agar dapat menemukan kesejatiaan
dirinya. Dimensi mistik bagi setiap individu adalah bersifat subjektif, hal ini
disebabkan oleh pengalaman spritual berbeda. Pada titik tertentu, seorang yang
menjalani kehidupan mistik akan sampai kepada satu titik kesadaran akan Tuhan
yang terus membawa kedirian seseorang untuk mendekatiNya.
Menurut
Annemarie Schimmel dalam artikelnya Sufism Islam mengatakan bahwa
sufisme/tasawuf adalah kepercayaan mistik dalam Islam dan langkah praktis umat
Muslim untuk mencapai kesejatian cinta dan pengetahuan dari pengalaman personal
yang diterima secara langsung terhadap Tuhan.[16]
Di dunia Barat, tasawuf dikenal sebagai sufisme sejak awal permulaan abad
ke-19, yang berarti wool (kain wol). Ditinjau dari aspek kebahasaan,
sebutan sufi memiliki pengertian bahwa seorang penjelajah ruhaniah senantiasa
menjauhi gemerlapnya kehidupan duniawi untuk mencapai tujuan tertinggi
hidupnya, yaitu perjumpaan secara langsung dengan Tuhan. Agaknya metafor yang
agak mengena ialah seorang yang sampai dalam tahap mahabbah, yang dianggap inti
jiwa sufi, ialah seperti seorang yang sedang bercermin, dalam cermin itulah
Tuhan, sehingga dia tidak menyadari keberadaan dirinya sendiri.
Definisi ini serupa dengan
pengertian tasawuf yang disampaikan oleh Abu Abdirrahman al-Sulami, bahwa kata al-Shufiah
menunjuk pada pengertian terhadap orang-orang yang tidak berpaling untuk
mencintai segala yang fana. Para sufi akan melakukan perjalanan spritual
dengan mengindahkan nilai-nilai Islami.[17]
Menurut Abu Wafa Taftazani dikutip
oleh Ridin Sofwan dalam bukunya Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan menyatakan
bahwa tasawuf secara umum memiliki setidaknya tiga karakteristik yaitu psikis,
moral dan epistemologis. Pertama, pendakian tasawuf yang dijalani oleh
semua pelakunya akan memberikan pengalaman spritual tertentu yang bersifat
subjektif, kejadian ini terjadi dalam wilayah psikis. Kedua, tasawuf
memiliki pedoman moral tertentu yang dibangun dari ajaran Islam. Nilai-nilai
ini adalah rujukan bagi setiap pelaku tasawuf dalam menjalani kehidupannya.
Biasanya dalam tasawuf yang terikat dalam aliran thariqat memiliki
landasan moral yang diatur oleh sang syeikh. Ketiga, pengalaman psikis
seorang pelaku tasawuf hingga maqam tertentu akan mendapat suatu keistimewaan
dari sang Pencerah yang biasa disebut intuitif langsung.[18]
Sejarah
mencatatat tasawuf telah munculdan berkembang dalam abad ke-3 H dengan pertama,
memperhatikan kondisi sosial politik yang digandrungi oleh umat Islam.
Kehidupan serba merah sudah menjadi budaya bagi kebanyakan umat Islam pada abad
ke-1 dan ke-2 H, di sini lahirnya tasawuf merupakan sebuah pilihan bagi sedikit
orang dan merupakan daya kritis sebagian umat Islam yang ingin mengembalikan
indahnya ajaran Islam yang tertanam di dalam al-Quran dan al-Hadits.[19]kedua,
lahirnya tasawuf ditandai dengan munculnya kitab al-Luma’ karya Abu
al-Siraj al-Thusi (w. 387/ 988 M).[20]
Pendapat pertama yang mengatakan
bahwa tasawuf lahir sebagai kritik sosial agaknya disebabkan oleh karakteristik
seorang pemimpin dan umat Islam kebanyakan, yang berkelindan kehidupan mewah,
harta berlimpah, dan berfoya-foya bagi keluarga dan sanak saudara. Selain
kondisi sosial yang mengalami kemerosotan nilai, pertikaian politik di tubuh
kaum Muslimin tidak terelakkan. Lengsernya Ali oleh Muawiyah, lengsernya
dinasti Umayyah oleh Abbasiyah kerapkali menciptakan konflik di tubuh Islam
sendiri. Lahirnya tasawuf sebagai kritik sosial-politik pada masa itu merupakan
usaha pengembalian Islam kepada esensi kehadirannya di muka bumi. Hal ini
terbukti bahwa rujukan utama sebuah ajaran sufi selalu bersumber dan mendapat
inspirasi dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Pada abad ke-3 H tercatat adanya
tasawuf hakiki yaitu pencarian akan realitas sejati. Kehidupan berfoya-foya dan
penuh kemegahan di lingkungan istana disikapi dengan wara’, ridla, sabar
dll. Kehidupan duniawi yang serba cukup membuat banyak kalangan lupa akan
Tuhan, maka dari itu mereka memilih untuk menjalani kefakiran. Artinya, seorang
penjelajah ruhani akan berusaha menghilangkan keinginan di dalam qalb
akan dunia, sehingga tak jarang kami menjumpai sejarah kehidupan sufi yang
dipenuhi harta kekayaan yang melimpah. Sebagian dari mereka memilih untuk
meniti jalan kefakiran dengan meninggalkan duniawi dalam arti materi demi
mengosongkan hatinya dari sesuatu yang akan memalingkan hati kepada Tuhan.[21]
Dalam perkembangannya, menurut Dr.
Simuh mengutip pendapatnya Annemarie Schimmel dalam bukunya Mystical
Dimension of Islam, mistisisme dalam Islam dibagi menjadi dua yaitu mysticism
of infinity dan mysticsm of personality.[22]Pertama,
mysticism of infinity adalah ajaran mistik yang mengatakan bahwa Tuhan
adalah realitas absolut dan tak terbatas. Dalam paham Tuhan digambarkan sebagai
sebagai matahari yang menghasilkan cahaya, bahwa makhuk adalah percikan Ilahi
yang bisa mengalami persatuan kembali dengan Tuhan. kedua, mysticism of
personality adalah paham mistik yang mempertahankan perbedaan mutlak antara
manusia dan Tuhannya. Dalam ajaran mistik pertama Tuhan adalah wujud yang
imamen, sementara dalam paham kedua Tuhan adalah wujud transenden.
Kembali kepada penjelasan Julia dan
Martin di atas, tasawuf adalah paham mistik sejauh ia hanya menfokuskan diri
kepada kesadaran akan Tuhan. tampaknya, jika tasawuf hanya didasarkan atas
perolehan tujuan untuk menyatu dengan Tuhan merupakan bagian tasawuf negatif,
yang hendak melepaskan dunia seluruhnya untuk mencapai keadaan wahdat
al-wujud. Tasawuf model ini patut kami sebut mistik.
Menghadapi respon negatif yang
banyak diluncurkan oleh sarjana-sarjana Barat yang kurang jujur dalam
penelitiannya tentang Islam. Akhir-akhir ini muncul wacana “tasawuf positif”
oleh IIMan (Indonesian Islamic Media Network) di Jakarta. Menurut Haidar Bagir
selaku pimpinan, sebagaimana dikutip oleh Sudirman Tebba dalam bukunya Tasawuf
Positif, menjelaskan bahwa tasawuf merupakan jalan cinta-kasih. Allah
digambarkan sebagai wujud jalal dan jamal,jalal digambarkan
sebagai wujud yang maha agung, sementara jamal diisyaratkan sebagai
wujud yang maha indah.[23]
Dalam wacana tasawuf positif,
tasawuf adalah pendekatan manusia kepada Allah melalui akal-hati,
dunia-akhirat. Jadi ajaran tasawuf sesungguhnya tidak benar-benar melepaskan
dunia seutuhnya, tetapi sebatas menghilangkan keinginan akan dunia yang
menyebabkan berpalingnya hati seseorang kepada Allah. Ringkasnya, tasawuf
positif menerima keberadaan dunia sebagai ciptaan Allah yang akan menambah
keyakinan seseorang kepadaNya.
Jika dikorelasikan dengan
jejak-jejak tasawuf kuno, dengan sistem hirarki takhalli (membersihkan
hati dari ketergantungan kepada dunia), tahalli (menghiasi sikap, sifat
dan perbuatan diri dengan yang baik) dan tajalli (kesucian jiwa).[24]Maka
akan menghasilkan konsepsi yang sangat membantu dalam memahami tasawuf
seutuhnya, yang sungguh berbeda dengan mistisisme. Misalnya, seorang pemula
akan berusaha untuk menghilangkan keinginan-keinginannya kepada dunia, tidak
suka berlebih-lebihan, berfoya-foya dll. Seorang sufi berhak untuk hidup
bergelimang harta, hanya semata-mata harta itu adalah sarana dirinya menuju
Allah. Harta pada hakikatnya adalah milik Allah, maka pemanfaatannya harus
disadari sebagai milik Allah. Dengan harta, seseorang akan bisa bersedekah dan
membantu orang miskin yang sangat membutuhkan bantuan.
Dalam konsep tasawuf kuno, sering
kami menemukan penjelasan adanya tendensi dalam ilmu pengetahuan umum dan ilmu
pengetahuan agama. Jika berkaca pada wacana tawawuf positif di atas maka semua
ilmu itu pada hakikatnya sama. Seorang sufi akan mendalami berbagai macam ilmu,
oleh sebab dia akan mengajarkan orang-orang yang hidup di pedalaman, misalnya.
Merujuk kepada Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi dalam bukunya ‘Awarif
al-Ma‘arif menjelaskan bahwa manusia harus memanfaatkan akalnya demi
memperoleh ilmu dan ilmu itu ibarat makanan yang bermanfaat, bergizi dan
memiliki nutrisi bagi tubuh, yaitu ilmu yang didedikasikan sepenuhnya kepada
Allah.[25]
Bagi penulis sendiri, pada
hakikatnya tasawuf akan mengantarkan manusia menuju kesajatian dirinya sebagai
hamba Tuhan, jikalau semua tindak-tanduknya diperuntukkan kepada Tuhan semata.
Jadi seorang sufi tidak perlu meninggalkan dunia, tetapi memanfaatkan dunia
sebagai sarana menuju cahaya Tuhan.
Catatan Akhir
Sufisme/tasawuf
menurut Reynold A. Nicholson ialah filsafat agama Islam yang bertanduk kepada
ajaran mistik Muhammad. Tasawuf mendapat pengaruh yang luar biasa dari
faktor-faktor eksternal seperti Kristen, Neo-Platonisme, Budha dll. Dengan
jalan bertapa dan menyendiri seorang salik akan mencapai persatuan dengan Tuhan.
Istilah mistik ini diajukan bahwa tasawuf adalah kesadaran kehadiran Ilahi
dalam diri sehingga menyatu denganNya. Akan tetapi, term Mistik untuk tasawuf
tidak tepat karena pada hakikatnya tasawuf sama sekali tidak hanya menfokuskan
diri hanya kepada Tuhan. Tasawuf lebih luas dari itu, ia mempersoalkan
kehidupan sosial, seni, pengetahuan dll.
Baru-baru ini hadir wacana tasawuf
positif yang memberikan keterangan gamblang bahwa tasawuf bukan mistik.
Pada hakikatnya, tasawuf adalah jalan menuju Tuhan melalui nilai-nilai Islam
yang tersurat dan tersirat dalam al-Quran dan al-Hadits. Dengan begitu,
penganut tasawuf akan memanfaatkan dunia atas dasar cinta dan hanya
diperuntukkan hanya kepada Allah.
Pustaka
al-Ghazali, Abu Hamid. 1997, Kaidah-kaidah
Sufistik: Keluar dari
Kemelut Tipudaya, terj. M. Luqman
Hakiem & Abu Ahmad Najih,Surabaya: Risalah Gusti.
Julia Day
Howell dan Martin van Bruinessen. 2008, Urban
Sufism, Jakarta: Rajawali
Pers.
Malaka, Tan. 2000, MADILOG: Materialisme Dialektika Logika,
Jakarta: Pusat Data Indikator.
Simuh. 1996, Sufisme
Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Pustaka Bentang Budaya.
Sofwan, H. Ridin. 1999, Menguak
Seluk Beluk Aliran Kebatinan: Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Semarang: CV. Aneka Ilmu.
al-Sulami, Abu Abdirrahman. 2007,
Tasawuf Buat yang Pengen Tahu, terj. Faisal Saleh, Jakarta: Erlangga.
al-Syarqawi, Muhammad ‘Abdullah. 2003, Sufisme
dan Akal, terj. Halid
Alkaf, Bandung: Pustaka Hidayah.
Suhrawardi, Syaikh Syihabuddin Umar. 1998, ‘Awarif
al-Ma‘arif: Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf, terj. Ilma Nugrahani Ismail, Bandung: Pustaka Hidayah.
Tebba, Sudirman. 2003,
Tasawuf Positif, Bogor: Kencana.
Zoetmulder, P.J. 2000, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan
Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hartono, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Sumber dari Internet:
Reynold A.
Nichoson, The Mystics of Islam, PDF.
[1]Reynold A.
Nichoson, The Mystics of Islam, PDF, hal. 3
[2]Disadur dari
Reynold A. Nichoson, The Mystics of Islam, PDF.
[4]Reynold A., The
Mystics..., hal. 2
[5]Tan Malaka, MADILOG:
Materialisme Dialektika Logika (Jakarta: Pusat Data Indikator, 2000),
hal. 383
[6]Julia Day
Howell dan Martin van Bruinessen, Urban Sufism (Jakarta: Rajawali Pers,
2008), hal. 7
[7]Ibid., hal. 6
[12]Simuh, Sufisme
Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Pustaka
Bentang Budaya, 1996), hal. 58
[13]H. Ridin
Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan (Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa) (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 1999), hal. 99
[14]P.J.
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra
Suluk Jawa, terj. Dick Hartono(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000),
hal. 219-220
[15]Ibid., hal. 3
[17]Abu Abdirrahman
al-Sulami, Tasawuf Buat yang Pengen Tahu, terj. Faisal Saleh (Jakarta:
Erlangga, 2007), hal. xiii
[18]H. Ridin
Sofwan, Menguak Seluk Beluk..., hal. 100
[19]Muhammad
‘Abdullah al-Syarqawi, Sufisme dan Akal, terj. Halid Alkaf (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2003), hal. 32
[20]https://tatahati.wordpress.com/2011/07/04/tokoh-tokoh-dalam-dunia-tasawuf/ dikutip pada
22:42, 27 Desember 2015
[21]Abu Hamid
al-Ghazali, Kaidah-kaidah Sufistik:Keluar dari Kemelut Tipudaya, terj.
M. Luqman Hakiem & Abu Ahmad Najih (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 8
[22]Simuh, Sufisme
Jawa..., hal. 37
[23]Sudirman Tebba,
Tasawuf Positif (Bogor: Kencana, 2003), hal. 1
[24]H. Ridin
Sofwan, Menguak Seluk Beluk..., hal 104-105
[25]Syaikh
Syihabuddin Umar Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma‘arif: Sebuah Buku Daras Klasik
Tasawuf, terj. Ilma Nugrahani Ismail (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal.
103
No comments:
Post a Comment