Saturday, July 28, 2018

MEMAHAMI KONSEP SUFISME KRITIK ATAS PEMIKIRAN REYNOLD A. NICHOLSON


MEMAHAMI KONSEP SUFISME
KRITIK ATAS PEMIKIRAN REYNOLD A. NICHOLSON

Pendahuluan
Memaknai tasawuf secara mendalam hingga menemukan esensi/inti-subtansial darinya memang sangat sulit untuk dilakukan oleh banyak orang. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri oleh semua kalangan, kesulitan dalam cara memahami tasawuf dengan cermat menjadi problematika mendasar bagi para penganutnya. Selintas kaum Muslimin meyakini bahwa tasawuf adalah jalan murni menuju Tuhan. Namun di sini para pengkaji menemukan berbagai kesulitan dalam menelaah lintas pengamalan dan pengalaman beragama dalam Islam. Ini terbukti dengan banyaknya pembahasan yang dikaji dalam tasawuf, yang tidak membahas objek inderawi secara langsung.
            Kami menemukan suatu soal bahwa tasawuf bertumpu pada hati, yang oleh banyak ulama diposisikan sebagai rasa. Maka jelaslah bagi kalangan orientalis menyebut tasawuf sebagai bagian dari agama Islam yang terdiri dari unsur-unsur mistis. Karena pembahasan di dalamnya dianggap tidak memiliki keterikatan dengan alam material, melainkan hanya sebuah usaha untuk menyatukan diri dengan Tuhan.
            Secara khusus artikel ini membahas tentang pokok-pokok pemikiran tasawuf seorang orientalis Reynold A. Nicholson yang disampaikan melalui bukunya yang berjudul The Mystics of Islam. Dalam pengantar bukunya, dia menjelaskan bahwa pengikut mistik Muhammad suka menyebut diri mereka ahl al-Haq (pengikut kebenaran).[1]Dia dalam buku itu, dia menjelaskan bahwa tasawuf yang dianut oleh para sufi adalah ajaran mistik. Pada secara substansial, istilah mistik tidak dapat disinonimkan dengan tasawuf, begitupula secara prinsipil istilah mistik sangat tidak tepat dipakai untuk tasawuf.

The Mystics of Islam dalam Pandangan Reynold A.Nicholson[2]
Dalam pengantar bukunya, Nicholson menjelaskan bahwa sufisme adalah filsafat agama Islam. Mereka adalah para sufi yang suka menyebut dirinya sebagai ahl al-Haq, yaitu orang-orang yang mengikuti ajaran mistik Muhammad. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mencolok antara kaum sufi dan kaum fundamentalism, kecuali bahwa kaum sufi berpegang teguh kepada al-Quran yang dipahami melalui kehidupan beragama.
            Kata mistik sendiri berasal dari agama Yunani kuno yang diadopsi ke dalam literatur Eropa. Dalam Islam, mistisisme adalah sufisme. Namun, sufisme di sini memiliki pengertian khusus yaitu bagi pengikut mistik Muhammad. Dalam bahasa Arab, kata sufi identik dengan istilah kesucian sehingga mereka yang disebut sufi adalah orang-orang yang memiliki hati yang bersih/suci.
            Menurut Noldeke, kata sophos dalam bahasa Yunani berasal dari kata suf (wool), untuk selanjutnya istilah sufi diperuntukkan kepada orang Islam yang melakukan pertapaan suci dengan menggunakan kain wol kasarsebagai tanda penyesalan dan penyerahan duniawi.
            Awalnya para sufi adalah seorang pertapa dan penyendiri, daripada seorang mistikus. Kesadaran akan dosa kemudian dikombinasikan dengan rasa takut dan harapan, hal ini merupakan bentuk tasawuf tertua. Dalam abad ke-8 M tasawuf bertumpu pada perasaan takut, namun kemudian dipraktekkan oleh mistikus perempuan Robi‘ah al-Adawiyah menjadi perasaan pasrah sepenuhnya.
            Dalam abad ke-3 H, paham sufisme berkembang secara tidak normal, mereka berusaha menundukkan tubuhnya dan hidup miskin. Dalam abad ini, mereka yakin bahwa tindakan bertapa dan menyendiri dari keramaian hanyalah jalan pertama dan masih banyak lagi yang harus dilalui sufi sempurna. Kata kunci untuk mempelajari sufisme ialah cahaya, pengetahuan dan cinta, dalam bentuk keTuhanannya sebagai pantheism.
            Adapun yang paling berpengaruh atas perkembangan sufisme Islam ialah Kristen, neo-Platonism, Gnosticsm, dan Budhisme. Dalam prakteknya, penganut sufisme hampir menyerupai praktek-praktek mistik dari keempat paham ini. Memahami hakikat cinta, misalnya, seringkali ditemukan kemiripan dalam tradisi Kristen.
            Mistisisme merupakan sebuah tanda kemajuan spritual yang dialami oleh penganutnya. Yaitu konsep suluk bagi salik melalui berbagai tahapan/tingkatan yang harus dilalui oleh para pencari Tuhan. Dalam kitab al-Luma’, tahapan-tahapan itu ialah taubat, pantang, penolakan, kemiskinan, kesabaran, kepercayaan dan kepuasan. Ketujuh tahapan ini harus intens dijalankan olah para salik agar menemukan prinsip kemurnian akan realitas ultim. Tahap demi tahap harus dilalui untuk memperoleh maqam yang lebih tinggi, mereka tetap berdiri dalam satu tahap jika hal itu belum sepenuhnya dilakukan. Dengan begini seorang penganut sufisme mempunyai tingkat disiplin yang sangat tinggi. Semua tahap harus dilakukan hingga mereka sampai kepada maqam makrifat dan hakikat.
            Dalam perjalan spritual, seorang pemula harus tunduk dan patuh kepada seorang syaikh atau mursyid. Para mursyid bertugas untuk mengarahkan murid-muridnya untuk dapat berhasil dari satu tahap ke tahap selanjutnya. Sehingga tahap-tahap yang telah dilalui memberikan suatu penyegaran batin dan menambah tingkat kesadaran yang mendalam bahwa semua yang dilakukan oleh manusia adalah rahmat Allah. Taubat misalnya, tampak dalam benak manusia bahwa ia merupakan aktifitas ruhani yang disebabkan oleh kesadaran akan dosa menuju jalan kebaikan tanpa mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya. Tetapi lain daripada itu, dalam kesadaran mendalam seorang salik akan menyadari bahwa taubat itu semata-mata merupakan rahmat Ilahi.
            Bagi mereka yang telah mencapai maqam makrifat dan hakikat dapat merasakan kepenuhan cinta kepada Allah, mata mereka telah buta kecuali pandangan mereka adalah pandangan Tuhan. Hati mereka telah dipenuhi dengan cahaya Ilahi, sehingga mereka tak lagi membutuhkan dunia, mereka hanya mengambil secukupnya sebagai perantara menuju Tuhan. Inilah konsep kemiskinan yang dianut oleh para sufi, kebanyakan dari mereka bukan orang-orang miskin dalam arti materi, tetapi hati mereka telah kosong dari kecintaan akan materi duniawi.
            Hingga sampai dalam maqam tertinggi, para penganut sufisme menemukan ekstase dirinya. Melakukan persatuan dengan Tuhan, menjadi fana’ akan segalanya kecuali Tuhan yang wujud, bahkan diri mereka sendiri pada hakikatnya adalah ketiadaan. Penghayatan mendalam akan kehadiran Tuhan membuat para penganut sufisme ini menyangkal dirinya sendiri. Dirinya adalah pengertian dari Tuhan, dirinya telah hilang entah kemana, hanya Tuhan semata yang ada di dalam diri dan hatinya.
           
Mistisme dan Sufisme
Peneliti orientalis kerapkali menggunakan kacamata Barat terhadap penelitian yang mereka lakukan terhadap budaya ke-Timur-an, meskipun sebagian dari mereka bersikap jujur dan objektif. Termasuk di dalamnya adalah Reynold A. Nicholson, seorang orietalis Inggris. Di dalam wikipedia berbahasa Inggris, dijelaskan bahwa Nicholson adalah seorang pengkaji tokoh-tokoh sufi seperti Rumi, Hujwiri, Ibn Arabi dll, juga meneliti kitab-kitab sufi kuno seperti Masnawi, Sufism Kashf al-Mahjub dll.[3]
            Seperti tercatat di dalam bukunya The Mystics of Islam dia berusaha untuk menerangkan keagungan sufisme dan tokohnya dengan menggunakan term mistisisme. Konklusi kajian yang dilakukannya dalam wilayah tasawuf ialah, bahwa tasawuf merupakan konsep yang ada di dalam semua agama dalam rangka menyempurnakan kehidupan spiritual antara makhluk dan Tuhan. Pengertian yang simple ini menjelaskan bahwa tujuan mutlak dari tasawuf ialah Tuhan. Dengan demikian, bersandar kepada tujuan tertinggi dari tasawuf lantas Nicholson menyebutnya sebagai paham Muhammaden mystics (sufisme).[4]
             Term mistik oleh Nicholson kepada ajaran keruhanian Islam (tasawuf) setidaknya bisa diterima oleh umat Islam sendiri sebagai sebuah ajaran keruhanian yang berusaha mengintenskan keharmonian komukasi antara manusia dan Tuhan. Ungkapan ini agaknya serupa dengan penyampaian Tan Malaka terhadap ajaran dan pemikiran al-Ghazali, yang disebutnya sebagai sang mistikus besar.[5] Al-Ghazali sendiri lazim dikenal di kalangan umat Islam dengan hujjat al-Islam.
            Akan tetapi terlepas dari kedua tokoh ini, Nicholson seorang orientalis dan Tan Malaka seorang Materialis, penulis mengatakan pula bahwa apa yang mereka sampaikan ialah tidak benar-benar tuntas dalam membahas tasawuf. Akhirnya dengan kombinasi antara pengetahuan dan bahan bacaan yang ada, penulis menarik konklusi bahwa term mistik yang diajukan kepada tasawuf ialah analisa yang tidak adil. Alasannya sederhana, menukil pendapat  Julia Day Howell dan Martin van Bruinessen dalam makalahnya Sufisme dan “Modern” dalam Islam,term mistik boleh saja diikatkan terhadap tasawuf/sufisme sejauh ajaran yang terkandung di dalamnya hanya persoalan komunikasi antara manusia dan Tuhan semata.[6]
            Analisa terhadap tasawuf yang dilakukan oleh Julia dan Martin tampak lebih detaildibandingkan gagasan Nicholson dan Tan Malaka, bahwa dalam pengertian yang lebih luas tasawuf/sufisme meliputi beragam aspek kehidupan manusia, misalnya seni, sastra, pengetahuan ilmiah, institusi sosial dll.[7] Meskipun pada dasarnya keberagaman unsur-unsur keduniaan itu adalah sarana untuk mencapai puncak kesadaran akan kehadiran Ilahi. Di sini ada semacam justifikasi bahwa tasawuf dalam pengertian yang lebih luas tidak semata-mata mempersoalkan kehadiran Tuhan, tetapi juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keduniawian.
            Secara etimologi, kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos/myein yang berarti menutup mata, rahasia atau tersembunyi.[8] Sedangkan arti mistik secara definitif adalah sistem/paham yang menghendaki pemenuhan hasrat manusia untuk mengalami persatuan dengan Tuhan (tasawuf, suluk).[9] Sementara itu pengertian mistisisme adalah ajaran yang menyatakan bahwa terdapat hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.[10]
Secara konseptual, mistisisme dan mistik memiliki objek transenden, yang jauh dari manusia, yang senantiasa didekati dengan praktek-praktek spiritual atau ritual suci tertentu yang akan mengantar penganutnya kepada kesatuan jiwa manusia dan Tuhan.Bentuk-bentuk aktifitas mistis ini biasanya merupakan sebuah doktrin sentral yang ada dalam suatu agama. Sehingga bagi seluruh pemeluk agama dituntut untuk menjalaninya agar dapat hidup sempurna. Dalam rangka menjalankan doktrin ini, pemeluk agama menjalani aktifitas mistik, sehingga acapkali seseorang akan mengalami ketidaksadaran diri, mengalami keadaan ekstase yaitu keadaan spritual yang merasakan nikmatnya mengalami persatuan dengan Tuhan.[11]
Definisi mistik oleh KBBI sendiri mengalami kejanggalan tersendiri dengan mensinonimkan kata tasawuf dengan mistik. Sebagai sebuah subsistem agama, pengertian mistik mengalami stagnasi yaitu mistik sebagai paham kesatuan manusia dan Tuhan. Begitupula ketika kata mistik dipakai pada tasawuf, akan menghasilkan pengertian yang sama bahwa tasawuf adalah ajaran/paham dalam agama Islam yang berorientasi kepada ekstase. Terlihat jelas KBBI memproduksi diorientasi makna karena dilepaskan dengan konteksnya. Seperti sudah dijelaskan oleh Julia dan Martin bahwa tasawuf bisa disebut mistik kalau orientasinya terkhusus kepada kesadaran akan kehadiran Ilahi, tapi lebih luas lagi dalam tubuh tasawuf itu sendiri mengandung beragam soal dari keseluruhan.
Di Indonesia,  Kejawen merupakan salah satu aliran mistik yang berada di pulau Jawa. Kejawen adalah aliran kebatinan yang merupakan hasil singkretis antara kepercaya pribumi, Hindu-Budha dan Islam. Ketiganya saling berinteraksi sehingga menghasilkan agama Islam Jawa (Kejawen).[12]Sedangkan Ridin Sofwan menjelaskan bahwa sebutan Kejawen bersumber dari kebudayaan spritual Jawa asli. [13]Misalnya tertulis dalam serat Mas Kumambang:
“Iya iku rupane kang aran tokit pasti tan roroa kahanan ingkang aurip kang urip Allah Kewala. Ingkang awan pan sampun kidang mangsuli pajal awuliyan ginutuk lor kidul keni anebut sinebut dawak. Dewekira ingkang amuji pinuji yen sira kang tunggal kawibuhan mahasukci kang tunggal langgeng agesang.”[14]
Artinya: demikianlah nampaknya apa yang dinamakan tokid (usaha supaya bersatu dengan Tuhan, identifikasi), sudah pasti bahwa dalam Ada segala sesuatu yang hidup tak ada perpecahan (keduaan), yang hidup hanya Allah saja. Barang siapa yang mempunyai wawasan yang tepat...(?) ia kembali ke tempat asalnya, ia memukul sesuatu di sebelah utara dan mengenai sesuatu di selatan, ia menyerukan dan ia sendiri diserukan. Tak ada kehidupan kecuali Dia Yang Hidup, yang dipuji dan dimuliakan dan yang (sekaligus) mematuhi diriNya sendiri.”
            Dalam serat ini, ada justifikasi monismesebagai paham yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu. Berbeda dengan pantheisme yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah sama. Secara konseptual, kedua paham ini nampaknya memiliki pengertian yang sama, tetapi dua paham ini memiliki wilayah kerjanya sendiri-sendiri. Secara sederhana, paham monisme mengajarkan bahwa Tuhan melebur ke dalam alam dan paham pantheisme mengajarkan bahwa alam melebur ke dalam Tuhan.[15]
            Jalan mistik yang dipilih oleh seseorang ialah muncul sebagai sebuah kesadaran akan asal muasal kehadirannya di dunia. Kesadaran ini menggugah kepercayaan akan adanya Tuhan YME yang senantiasa perlu di dekati setiap saat agar dapat menemukan kesejatiaan dirinya. Dimensi mistik bagi setiap individu adalah bersifat subjektif, hal ini disebabkan oleh pengalaman spritual berbeda. Pada titik tertentu, seorang yang menjalani kehidupan mistik akan sampai kepada satu titik kesadaran akan Tuhan yang terus membawa kedirian seseorang untuk mendekatiNya.
Menurut Annemarie Schimmel dalam artikelnya Sufism Islam mengatakan bahwa sufisme/tasawuf adalah kepercayaan mistik dalam Islam dan langkah praktis umat Muslim untuk mencapai kesejatian cinta dan pengetahuan dari pengalaman personal yang diterima secara langsung terhadap Tuhan.[16] Di dunia Barat, tasawuf dikenal sebagai sufisme sejak awal permulaan abad ke-19, yang berarti wool (kain wol). Ditinjau dari aspek kebahasaan, sebutan sufi memiliki pengertian bahwa seorang penjelajah ruhaniah senantiasa menjauhi gemerlapnya kehidupan duniawi untuk mencapai tujuan tertinggi hidupnya, yaitu perjumpaan secara langsung dengan Tuhan. Agaknya metafor yang agak mengena ialah seorang yang sampai dalam tahap mahabbah, yang dianggap inti jiwa sufi, ialah seperti seorang yang sedang bercermin, dalam cermin itulah Tuhan, sehingga dia tidak menyadari keberadaan dirinya sendiri.
            Definisi ini serupa dengan pengertian tasawuf yang disampaikan oleh Abu Abdirrahman al-Sulami, bahwa kata al-Shufiah menunjuk pada pengertian terhadap orang-orang yang tidak berpaling untuk mencintai segala yang fana. Para sufi akan melakukan perjalanan spritual dengan mengindahkan nilai-nilai Islami.[17]
            Menurut Abu Wafa Taftazani dikutip oleh Ridin Sofwan dalam bukunya Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan menyatakan bahwa tasawuf secara umum memiliki setidaknya tiga karakteristik yaitu psikis, moral dan epistemologis. Pertama, pendakian tasawuf yang dijalani oleh semua pelakunya akan memberikan pengalaman spritual tertentu yang bersifat subjektif, kejadian ini terjadi dalam wilayah psikis. Kedua, tasawuf memiliki pedoman moral tertentu yang dibangun dari ajaran Islam. Nilai-nilai ini adalah rujukan bagi setiap pelaku tasawuf dalam menjalani kehidupannya. Biasanya dalam tasawuf yang terikat dalam aliran thariqat memiliki landasan moral yang diatur oleh sang syeikh. Ketiga, pengalaman psikis seorang pelaku tasawuf hingga maqam tertentu akan mendapat suatu keistimewaan dari sang Pencerah yang biasa disebut intuitif langsung.[18]
Sejarah mencatatat tasawuf telah munculdan berkembang dalam abad ke-3 H dengan pertama, memperhatikan kondisi sosial politik yang digandrungi oleh umat Islam. Kehidupan serba merah sudah menjadi budaya bagi kebanyakan umat Islam pada abad ke-1 dan ke-2 H, di sini lahirnya tasawuf merupakan sebuah pilihan bagi sedikit orang dan merupakan daya kritis sebagian umat Islam yang ingin mengembalikan indahnya ajaran Islam yang tertanam di dalam al-Quran dan al-Hadits.[19]kedua, lahirnya tasawuf ditandai dengan munculnya kitab al-Luma’ karya Abu al-Siraj al-Thusi (w. 387/ 988 M).[20]
            Pendapat pertama yang mengatakan bahwa tasawuf lahir sebagai kritik sosial agaknya disebabkan oleh karakteristik seorang pemimpin dan umat Islam kebanyakan, yang berkelindan kehidupan mewah, harta berlimpah, dan berfoya-foya bagi keluarga dan sanak saudara. Selain kondisi sosial yang mengalami kemerosotan nilai, pertikaian politik di tubuh kaum Muslimin tidak terelakkan. Lengsernya Ali oleh Muawiyah, lengsernya dinasti Umayyah oleh Abbasiyah kerapkali menciptakan konflik di tubuh Islam sendiri. Lahirnya tasawuf sebagai kritik sosial-politik pada masa itu merupakan usaha pengembalian Islam kepada esensi kehadirannya di muka bumi. Hal ini terbukti bahwa rujukan utama sebuah ajaran sufi selalu bersumber dan mendapat inspirasi dari al-Qur’an dan al-Hadits.
            Pada abad ke-3 H tercatat adanya tasawuf hakiki yaitu pencarian akan realitas sejati. Kehidupan berfoya-foya dan penuh kemegahan di lingkungan istana disikapi dengan wara’, ridla, sabar dll. Kehidupan duniawi yang serba cukup membuat banyak kalangan lupa akan Tuhan, maka dari itu mereka memilih untuk menjalani kefakiran. Artinya, seorang penjelajah ruhani akan berusaha menghilangkan keinginan di dalam qalb akan dunia, sehingga tak jarang kami menjumpai sejarah kehidupan sufi yang dipenuhi harta kekayaan yang melimpah. Sebagian dari mereka memilih untuk meniti jalan kefakiran dengan meninggalkan duniawi dalam arti materi demi mengosongkan hatinya dari sesuatu yang akan memalingkan hati kepada Tuhan.[21]
            Dalam perkembangannya, menurut Dr. Simuh mengutip pendapatnya Annemarie Schimmel dalam bukunya Mystical Dimension of Islam, mistisisme dalam Islam dibagi menjadi dua yaitu mysticism of infinity dan mysticsm of personality.[22]Pertama, mysticism of infinity adalah ajaran mistik yang mengatakan bahwa Tuhan adalah realitas absolut dan tak terbatas. Dalam paham Tuhan digambarkan sebagai sebagai matahari yang menghasilkan cahaya, bahwa makhuk adalah percikan Ilahi yang bisa mengalami persatuan kembali dengan Tuhan. kedua, mysticism of personality adalah paham mistik yang mempertahankan perbedaan mutlak antara manusia dan Tuhannya. Dalam ajaran mistik pertama Tuhan adalah wujud yang imamen, sementara dalam paham kedua Tuhan adalah wujud transenden.
            Kembali kepada penjelasan Julia dan Martin di atas, tasawuf adalah paham mistik sejauh ia hanya menfokuskan diri kepada kesadaran akan Tuhan. tampaknya, jika tasawuf hanya didasarkan atas perolehan tujuan untuk menyatu dengan Tuhan merupakan bagian tasawuf negatif, yang hendak melepaskan dunia seluruhnya untuk mencapai keadaan wahdat al-wujud. Tasawuf model ini patut kami sebut mistik.
            Menghadapi respon negatif yang banyak diluncurkan oleh sarjana-sarjana Barat yang kurang jujur dalam penelitiannya tentang Islam. Akhir-akhir ini muncul wacana “tasawuf positif” oleh IIMan (Indonesian Islamic Media Network) di Jakarta. Menurut Haidar Bagir selaku pimpinan, sebagaimana dikutip oleh Sudirman Tebba dalam bukunya Tasawuf Positif, menjelaskan bahwa tasawuf merupakan jalan cinta-kasih. Allah digambarkan sebagai wujud jalal dan jamal,jalal digambarkan sebagai wujud yang maha agung, sementara jamal diisyaratkan sebagai wujud yang maha indah.[23]
            Dalam wacana tasawuf positif, tasawuf adalah pendekatan manusia kepada Allah melalui akal-hati, dunia-akhirat. Jadi ajaran tasawuf sesungguhnya tidak benar-benar melepaskan dunia seutuhnya, tetapi sebatas menghilangkan keinginan akan dunia yang menyebabkan berpalingnya hati seseorang kepada Allah. Ringkasnya, tasawuf positif menerima keberadaan dunia sebagai ciptaan Allah yang akan menambah keyakinan seseorang kepadaNya.
            Jika dikorelasikan dengan jejak-jejak tasawuf kuno, dengan sistem hirarki takhalli (membersihkan hati dari ketergantungan kepada dunia), tahalli (menghiasi sikap, sifat dan perbuatan diri dengan yang baik) dan tajalli (kesucian jiwa).[24]Maka akan menghasilkan konsepsi yang sangat membantu dalam memahami tasawuf seutuhnya, yang sungguh berbeda dengan mistisisme. Misalnya, seorang pemula akan berusaha untuk menghilangkan keinginan-keinginannya kepada dunia, tidak suka berlebih-lebihan, berfoya-foya dll. Seorang sufi berhak untuk hidup bergelimang harta, hanya semata-mata harta itu adalah sarana dirinya menuju Allah. Harta pada hakikatnya adalah milik Allah, maka pemanfaatannya harus disadari sebagai milik Allah. Dengan harta, seseorang akan bisa bersedekah dan membantu orang miskin yang sangat membutuhkan bantuan.
            Dalam konsep tasawuf kuno, sering kami menemukan penjelasan adanya tendensi dalam ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Jika berkaca pada wacana tawawuf positif di atas maka semua ilmu itu pada hakikatnya sama. Seorang sufi akan mendalami berbagai macam ilmu, oleh sebab dia akan mengajarkan orang-orang yang hidup di pedalaman, misalnya. Merujuk kepada Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi dalam bukunya ‘Awarif al-Ma‘arif menjelaskan bahwa manusia harus memanfaatkan akalnya demi memperoleh ilmu dan ilmu itu ibarat makanan yang bermanfaat, bergizi dan memiliki nutrisi bagi tubuh, yaitu ilmu yang didedikasikan sepenuhnya kepada Allah.[25]
            Bagi penulis sendiri, pada hakikatnya tasawuf akan mengantarkan manusia menuju kesajatian dirinya sebagai hamba Tuhan, jikalau semua tindak-tanduknya diperuntukkan kepada Tuhan semata. Jadi seorang sufi tidak perlu meninggalkan dunia, tetapi memanfaatkan dunia sebagai sarana menuju cahaya Tuhan.


Catatan Akhir
Sufisme/tasawuf menurut Reynold A. Nicholson ialah filsafat agama Islam yang bertanduk kepada ajaran mistik Muhammad. Tasawuf mendapat pengaruh yang luar biasa dari faktor-faktor eksternal seperti Kristen, Neo-Platonisme, Budha dll. Dengan jalan bertapa dan menyendiri seorang salik akan mencapai persatuan dengan Tuhan. Istilah mistik ini diajukan bahwa tasawuf adalah kesadaran kehadiran Ilahi dalam diri sehingga menyatu denganNya. Akan tetapi, term Mistik untuk tasawuf tidak tepat karena pada hakikatnya tasawuf sama sekali tidak hanya menfokuskan diri hanya kepada Tuhan. Tasawuf lebih luas dari itu, ia mempersoalkan kehidupan sosial, seni, pengetahuan dll.
            Baru-baru ini hadir wacana tasawuf positif yang memberikan keterangan gamblang bahwa tasawuf bukan mistik. Pada hakikatnya, tasawuf adalah jalan menuju Tuhan melalui nilai-nilai Islam yang tersurat dan tersirat dalam al-Quran dan al-Hadits. Dengan begitu, penganut tasawuf akan memanfaatkan dunia atas dasar cinta dan hanya diperuntukkan hanya kepada Allah.

Pustaka

al-Ghazali, Abu Hamid. 1997, Kaidah-kaidah Sufistik: Keluar dari Kemelut Tipudaya, terj. M. Luqman Hakiem & Abu Ahmad Najih,Surabaya: Risalah Gusti.
Julia Day Howell dan Martin van Bruinessen. 2008, Urban Sufism, Jakarta: Rajawali Pers.
Malaka, Tan. 2000, MADILOG: Materialisme Dialektika Logika, Jakarta: Pusat Data Indikator.
Simuh. 1996, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Pustaka Bentang Budaya.
Sofwan, H. Ridin. 1999, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan: Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Semarang: CV. Aneka Ilmu.
al-Sulami, Abu Abdirrahman. 2007, Tasawuf Buat yang Pengen Tahu, terj. Faisal Saleh, Jakarta: Erlangga.
al-Syarqawi, Muhammad ‘Abdullah. 2003, Sufisme dan Akal, terj. Halid Alkaf, Bandung: Pustaka Hidayah.
Suhrawardi, Syaikh Syihabuddin Umar. 1998, ‘Awarif al-Ma‘arif: Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf, terj. Ilma Nugrahani Ismail, Bandung: Pustaka Hidayah.
Tebba, Sudirman. 2003, Tasawuf Positif, Bogor: Kencana.
Zoetmulder, P.J. 2000, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hartono, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumber dari Internet:
Reynold A. Nichoson, The Mystics of Islam, PDF.



[1]Reynold A. Nichoson, The Mystics of Islam, PDF, hal. 3
[2]Disadur dari Reynold A. Nichoson, The Mystics of Islam, PDF.
[3]http://en.m.wikipedia.org/wiki/Reynold_A._Nicholson dikutip pada 20:15, 27 Desember 2015
[4]Reynold A., The Mystics..., hal. 2
[5]Tan Malaka, MADILOG: Materialisme Dialektika Logika (Jakarta: Pusat Data Indikator, 2000),
hal. 383
[6]Julia Day Howell dan Martin van Bruinessen, Urban Sufism (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal. 7

[7]Ibid., hal. 6
[8]https://id.m.wikipedia.org/wiki/mistisisme dikutip pada 20:27, 27 Desember 2015
[9]http://kbbi.web.id/mistik dikutip pada 20:43, 27 Desember 2015
[10]http://kbbi.web.id/mistisisme dikutip pada 20:53, 27 Desember 2015
[11]http://www.britanicca.com/topic/mysticism dikutip pada 21:20, 27 Desember 2015
[12]Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Pustaka Bentang Budaya, 1996), hal. 58
[13]H. Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan (Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa) (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 1999), hal. 99
[14]P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hartono(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 219-220
[15]Ibid., hal. 3
[16]http://www.britanicca.com/topic/sufism dikutip pada 21:51, 27 Desember 2015
[17]Abu Abdirrahman al-Sulami, Tasawuf Buat yang Pengen Tahu, terj. Faisal Saleh (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. xiii
[18]H. Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk..., hal. 100
[19]Muhammad ‘Abdullah al-Syarqawi, Sufisme dan Akal, terj. Halid Alkaf (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), hal. 32
[21]Abu Hamid al-Ghazali, Kaidah-kaidah Sufistik:Keluar dari Kemelut Tipudaya, terj. M. Luqman Hakiem & Abu Ahmad Najih (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 8
[22]Simuh, Sufisme Jawa..., hal. 37
[23]Sudirman Tebba, Tasawuf Positif (Bogor: Kencana, 2003), hal. 1
[24]H. Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk..., hal 104-105
[25]Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma‘arif: Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf, terj. Ilma Nugrahani Ismail (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal. 103

No comments:

Post a Comment